Rabu, 06 Mei 2009

Menyingkap Sejarah Perang Dunia (Bagian II)

Perang Dunia I menandai mulai munculnya sejumlah besar gejala yang mematikan. Salah satu di antaranya adalah bahwa perang mulai menyerang tidak hanya pasukan tentara, tetapi juga rakyat sipil. Pengeboman pertama yang ditujukan kepada penduduk sipil adalah serangan pada tahun 1915 ke Inggris oleh pesawat zeppelin Jerman. Bom yang dijatuhkan dari pesawat zeppelin ini meminta korban nyawa banyak orang tak berdosa.

Kapal selam Jerman U-boat memulai operasi untuk menembaki kapal-kapal sipil yang melintasi Samudera Atlantik. Pada tanggal 7 Mei 1915, kapal lintas-atlantik terbesar di dunia, Lusitania, tenggelam tepat di dekat pantai Irlandia karena serangan kapal U-boat. Dari 2.000 orang penumpang Lusitania, sejumlah 1.195 orang tenggelam atau tewas dalam serangan tersebut.


Kapal selam Jerman U-boat

Bencana perang lainnya adalah senjata kimia. Gas beracun, senjata yang pertama kali digunakan oleh Prancis dan kemudian juga oleh Jerman, menyebabkan kematian menyedihkan ribuan serdadu. Banyak serdadu menjadi buta karena gas tersebut, dan pasukan harus membagikan topeng anti gas sebagai alat pelindung. Rakyat sipil pun diberikan topeng anti gas untuk melindungi mereka dari ancaman yang seringkali mematikan ini.

Pada tahun 1918, Perang Dunia I akhirnya berakhir, setelah empat tahun serangan tanpa guna di tangan tentara Jerman, Prancis, dan Inggris. Namun perdamaian ini, yang dinyatakan pada jam 11 pagi, hari kesebelas dari bulan kesebelas, tidak membawa kebahagiaan untuk siapa pun. Ratusan ribu serdadu menjadi cacat. Sebagian lainnya terbukti tidak mampu mengatasi dampak kejiwaan karena perang setelah tinggal di dalam parit yang penuh dengan lumpur, kotoran, dan mayat. Bentuk trauma yang dikenal sebagai “shell shock” atau “kejutan bom” sangat umum di antara para veteran perang, dan hal ini menyebabkan penderitanya mengalami serangan ketakutan dan goncangan yang berat. Rasa takut akan dibom, yang mereka alami setiap hari selama empat tahun berturut-turut, telah terukir di benak mereka. Ada beberapa penderita yang merasa harus segera bersembunyi hanya karena kata 'bom' disebutkan. Beberapa veteran bahkan merasa ngeri setiap kali mereka melihat seragam. Puluhan ribu serdadu juga kehilangan satu atau lebih anggota badannya dalam perang ini. Serdadu ini adalah tentara yang mata, dagu, atau hidungnya menjadi cacat selama pengeboman, sehingga topeng khusus diciptakan di Eropa untuk menyembunyikan wajah mereka yang cacat.

Derita yang parah akibat Perang Dunia I juga tercermin di dalam karya seni. Hasil karya sesudah perang menggambarkan kesakitan dan penyakit jiwa. Karya-karya ini tidak hanya mencerminkan keadaan jiwa sang seniman, namun juga keadaan jiwa seluruh generasi tersebut. Generasi yang merasakan akibat kesengsaraan perang yang sangat mendalam ini kemudian dijuluki "Generasi yang Hilang."

Sebagaimana yang telah kita saksikan, perang adalah perantara kekejaman yang besar yang tidak bermanfaat bagi pribadi atau pun masyarakat.Perang adalah malapetaka sosial yang menimbulkan kepedihan besar dan menorehkan luka yang dalam kepada manusia, yang akan perlu waktu lama, jika dapat disembuhkan. Allah, di lain pihak, telah memerintahkan manusia untuk menghindari perang dan mengutamakan perdamaian. Allah memberi kabar gembira untuk orang yang melakukan amal saleh:

Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Qashash: 83)

Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat? (QS Shaad: 28)

Jadi, apakah penyebab bencana ini, yang telah mengubah Eropa menjadi lautan darah? Mengapa para pemimpin negara-negara berkuasa menjerumuskan bangsa mereka ke dalam lembah kematian yang sia-sia ini?

Sebelum perang, banyak orang berpikir bahwa perang seperti ini akan sangat bermanfaat, dan bahkan diperlukan. Banyak orang yang menyambut perang dan sangat gembira ketika perang diumumkan. Para pemimpin dengan bangga mengirimkan serdadu mereka ke medan peperangan.

Penyebab utama kesalahan besar ini adalah keyakinan mereka akan sebuah gagasan, yaitu ajaran Darwin (Darwinisme). Ahli sejarah Amerika, Thomas Knapp menjelaskan hal ini sebagai berikut:

Perang itu sendiri bukanlah hal yang mengejutkan. Perang sebenarnya sudah diperkirakan oleh kalangan Eropa secara luas sekitar sepuluh tahun sebelum 1914. Bahkan ada cukup bukti untuk menunjukkan bahwa sejumlah orang Eropa dari berbagai pihak menyambut datangnya perang. Perang dianggap menyucikan, menggairahkan, membuat muda kembali. Sistem pendidikan di sebagian besar negara Eropa telah dirasuki oleh semacam sikap mental bersaing dari paham Darwinisme Sosial, di mana perang dilihat sebagai hal yang menyemangati dan memuliakan.

Darwinisme Sosial adalah penerapan teori evolusi Darwin dalam masyarakat.


Charles Darwin

Di dalam teorinya, yang kemudian terbukti keliru, Darwin menyatakan bahwa semua makhluk di alam terlibat dalam pertarungan untuk bertahan hidup. Dia menyatakan bahwa manusia adalah bentuk lanjutan dari hewan yang memenangkan pertikaian. Teori yang keliru ini, yang tampak seolah kenyataan ilmiah bagi banyak orang, mengingat rendahnya tingkat teknologi di kala itu, menjadi dasar bagi Perang Dunia I serta bagi sejumlah bencana kemanusiaan lainnya.

Catatan harian dan surat-menyurat pribadi para pemimpin Eropa masa itu menunjukkan bahwa mereka terpengaruh oleh Darwinisme Sosial. Para pemimpin ini mengingkari jalan akhlak yang didasarkan pada kasih sayang dan cinta yang Allah wahyukan kepada manusia, dan lebih memilih Darwinisme Sosial.

Sebagai contoh, Jenderal von Hoetzendorff, kepala staf Austria-Hungaria menulis dalam kenangan setelah perangnya:

Agama, ajaran akhlak dan pandangan filsafat yang penuh kasih, terkadang mampu melemahkan perjuangan manusia untuk bertahan hidup dalam bentuknya yang paling kasar, namun takkan pernah berhasil menghilangkannya sebagai sumber penggerak dunia… Sesuai dengan prinsip besar inilah bencana perang dunia terjadi sebagai akibat kekuatan penggerak dalam kehidupan negara dan masyarakat, bagaikan badai yang secara alamiah harus melepaskan energinya sendiri.

(James Joll, Europe Since 1870: An International History, Penguin Books, Middlesex, 1990, hal. 164)

Friedrich von Bernhardi, jenderal Perang Dunia I lainnya, juga menarik garis penghubung antara perang dengan apa yang disebut sebagai hukum alam evolusi:

Perang adalah kebutuhan makhluk hidup. Perang sama pentingnya dengan pertarungan unsur-unsur alam; perang memberikan keputusan yang menurut ilmu kehidupan adalah adil, karena keputusannya berpijak pada sifat paling mendasar dari segala sesuatu. (M. F. Ashley-Montagu, Man in Process, World. Pub. Co., New York, 1961, hal. 76, 77)

Kesimpulannya, Perang Dunia I disebabkan oleh para penguasa Eropa yang percaya bahwa peperangan, pertumpahan darah, penderitaan, dan membuat orang lain menderita semuanya adalah bagian dari "hukum alam." Teori evolusi Darwin-lah yang telah mendorong seluruh generasi ke dalam keyakinan yang keliru ini. Gambaran sosok Darwin yang gelap bersembunyi di balik tirai peperangan.

Namun, berlawanan dengan pernyataan Darwin, manusia bukanlah hewan yang bertahan hidup dengan tujuan berperang satu sama lain. Di dalam Al Quran, Allah menyatakan hal berikut tentang orang yang memulai perang:

… Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya. Dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan. (QS Al-Maidah: 64)

Allah menciptakan manusia, memberi mereka ruh yang khas dibanding makhluk hidup lainnya, dan memerintahkan mereka untuk menjalani hidup berakhlak. Jalan hidup seperti ini membutuhkan cinta, rasa persaudaraan, belas-kasih, dan perdamaian. Hanya jika manusia mematuhi perintah inilah, dunia dapat menjadi tempat yang damai. Perintah ilahi yang akan membawa kedamaian dan keselamatan kepada seluruh umat manusia dinyatakan di dalam Al Quran sebagai berikut:

... dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS Al-Qashash: 77)

Senin, 04 Mei 2009

Menyingkap Sejarah Perang Dunia (Bagian I)

Saya ingin berbagi informasi mengenai fakta dibalik perang dunia. Tulisan ini saya kutip dari situs harunyahya.com. Saya pikir sejarah ini perlu diketahui & perlu diungkapkan sebagai pelajaran kita ke depan. Selamat menikmati...

Perang telah ada hampir sejak awal keberadaan umat manusia itu sendiri. Kebutuhan ekonomi dan politik yang saling bersaing telah menggiring manusia untuk mengangkat senjata melawan satu sama lain. Senjata dan tentara telah berkembang berdampingan, sehingga perang telah tumbuh semakin dahsyat dan merusak.

Namun, sampai abad ke-20, perang masih berbentuk "perang garis depan", di mana para serdadu dari kedua belah pihak bertemu di kedua sisi medan perang dan pertempuran hanya berlangsung di sekitar medan ini. Dalam bentrokan ini, hanya serdadu sajalah yang terbunuh.

Tetapi di abad ke-20, sejenis perang baru telah lahir, perang yang sasarannya tidak hanya para serdadu, namun juga rakyat banyak. Akibat perang seperti itu dirasakan tidak hanya di beberapa negara saja, namun cenderung telah menyeret seluruh dunia ke dalam mulut menganga yang mengerikan.

Sepanjang sejarah, perang telah menimbulkan korban dan penderitaan yang hebat pada masyarakat. Sejumlah nabi yang diutus kepada manusia sebagai utusan Allah telah memperingatkan mereka akan malapetaka dan kekisruhan ini.

Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan, saudara mereka Syu'aib, maka ia berkata, "Hai kaumku, sembahlah olehmu Allah, harapkanlah (pahala) hari akhir, dan jangan kamu berkeliaran di muka bumi berbuat kerusakan." (QS Al-Ankabut: 36)

Melalui suara nabi mereka, bangsa Israel berjanji kepada Allah untuk tidak menumpahkan darah:

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya. (QS Al-Baqarah: 84)

Perang Dunia I

Di Eropa abad ke-19, penjajahan tersebar luas. Kekuatan bangsa Eropa seperti Inggris dan Prancis telah membangun kekuasaan penjajahan di keempat penjuru dunia. Jerman, yang telah membangun kesatuan politiknya lebih lama daripada negara-negara lain, bekerja keras untuk menjadi pelopor dalam perlombaan ini.

Pada awal abad ke-20, hubungan yang didasarkan pada kepentingan telah membagi Eropa menjadi dua kutub yang berlawanan. Inggris, Prancis, dan Rusia berada di satu pihak, dan Jerman beserta Kekaisaran Austria-Hungaria yang diperintah oleh keluarga Hapsburg asal Jerman berada di pihak lainnya.


Franz Ferdinand, istri dan anaknya

Ketegangan antara kedua kelompok ini semakin hari semakin meningkat, hingga akhirnya suatu pembunuhan pada tahun 1914 menjadi pemicu perang. Pangeran Franz Ferdinand, pewaris tahta Kekaisaran Austria-Hungaria, dibunuh oleh kaum nasionalis Serbia yang berusaha menekan pengaruh kekaisaran tersebut di daerah Balkan.

Dalam kurun waktu yang amat singkat, hasutan setelah peristiwa ini menyeret seluruh benua Eropa ke dalam kancah peperangan. Pertama, Austria-Hungaria menyatakan perang kepada Serbia. Rusia, sekutu abadi bangsa Serbia kemudian menyatakan perang terhadap Austria-Hungaria.

Lalu satu demi satu, Jerman, Inggris, dan Prancis, memasuki peperangan. Sumbu sudah dinyalakan.

Bahkan sebelum perang dimulai, Dewan Jenderal Jerman telah membuat rencana dan memutuskan untuk menguasai Prancis melalui serangan mendadak. Untuk mencapai tujuan ini, orang-orang Jerman memasuki Belgia dan kemudian melintasi perbatasan memasuki Prancis. Menanggapi dengan cepat, pasukan Prancis menghentikan pasukan Jerman di tepi Sungai Marne dan memulai suatu serangan balik.

Walaupun kedua pasukan menderita kerugian parah, tidak ada kemajuan di garis depan pertempuran. Baik serdadu Prancis maupun Jerman bersembunyi di parit untuk melindungi diri. Akibat serangkaian serangan yang berlarut-larut hingga beberapa bulan, sekitar 400.000 serdadu Prancis terbunuh. Korban meninggal dari serdadu Jerman mencapai 350.000.

Perang parit menjadi strategi utama Perang Dunia Pertama. Selama beberapa tahun berikutnya, bisa dikatakan para serdadu hidup dalam parit-parit ini. Kehidupan di sana benar-benar sulit. Para prajurit hidup dalam ancaman terus-menerus dibom, dan mereka tak henti-hentinya menghadapi ketakutan dan ketegangan yang luar biasa. Mayat mereka yang telah tewas terpaksa dibiarkan di tempat-tempat ini, dan para serdadu harus tidur di samping mayat-mayat tersebut. Bila turun hujan, parit-parit itu dibanjiri lumpur.

Lebih dari 20 juta serdadu yang bertempur di Perang Dunia I mengalami keadaan yang mengerikan di dalam parit-parit ini, dan sebagian besar meninggal di sana.

Dalam beberapa minggu setelah dimulai oleh serangan Jerman pada tahun 1914, garis barat perang ini sebenarnya terpaku di jalan buntu.

Para serdadu yang bersembunyi di parit-parit ini terjebak dalam jarak yang hanya beberapa ratus meter jauhnya satu sama lain. Setiap serangan yang dilancarkan sebagai upaya mengakhiri kebuntuan ini malah menelan korban jiwa yang lebih banyak.

Di awal tahun 1916, Jerman mengembangkan rencana baru untuk mendobrak garis barat. Rencana mereka adalah secara mendadak menyerang kota Verdun, yang dianggap sebagai kebanggaan orang Prancis. Tujuan penyerangan ini bukanlah memenangkan perang, melainkan menimbulkan kerugian yang besar di pihak Tentara Prancis sehingga melemahkan perlawanan mereka. Kepala staf Jerman Falkenhayn memperkirakan bahwa setiap satu serdadu Jerman saja dapat membunuh tiga orang serdadu Prancis.

Serangan dimulai pada tanggal 21 Febuari. Para pemimpin Jerman memerintahkan serdadunya untuk "keluar dari parit mereka," namun tiap serdadu yang melakukannya justru telah tewas atau sekarat dalam sekitar tiga menit. Meskipun penyerangan berlangsung tanpa henti selama berbulan-bulan, Jerman gagal menduduki Verdun.

Secara keseluruhan, kedua pihak kehilangan sekitar satu juta serdadu. Dan dengan pengorbanan itu, garis depan hanya berhasil maju sekitar 12 kilometer. Satu juta orang mati demi selusin kilometer.

Inggris membalas serangan Jerman di Verdun dengan Pertempuran Somme. Pabrik-pabrik di Inggris membuat ratusan ribu selongsong meriam.

Rencana Jendral Douglas Haig mendorong Pasukan Inggris untuk menghujani dengan pengeboman terus-menerus selama seminggu penuh, yang diikuti dengan serangan infanteri. Dia yakin mereka akan maju sejauh 14 kilometer di hari pertama saja dan kemudian menghancurkan semua garis pertahanan Jerman dalam satu minggu.

Serangan dimulai pada tanggal 1 Juni. Pasukan meriam Inggris menggempur pertahanan Jerman selama seminggu tanpa henti. Di akhir minggu tersebut, para perwira Inggris memerintahkan serdadunya memanjat keluar dari parit. Namun, selama pengeboman tersebut para serdadu Jerman berlindung dengan rapat di kedalaman parit persembunyian mereka sehingga tidak terlumpuhkan dan menggagalkan rencana Inggris. Begitu serdadu Inggris bergerak melintasi garis depan, serdadu Jerman muncul menyerang mereka dengan senapan mesinnya. Sejumlah total 20.000 serdadu Inggris tewas dalam beberapa jam pertama perang tersebut. Di dalam kegelapan malam itu, daerah di antara dua garis pertempuran penuh dengan puluhan ribu mayat dan juga serdadu yang terluka, yang mencoba merangkak mundur.

Pertempuran Somme tidak berlangsung dua minggu seperti yang direncanakan Jendral Haig, melainkan lima bulan. Bulan-bulan ini tidak lebih daripada pembantaian. Para jendral bertubi-tubi mengirimkan gelombang demi gelombang serdadu mereka menuju kematian yang telah pasti. Di akhir pertempuran, kedua belah pihak secara keseluruhan telah kehilangan 900.000 prajuritnya. Dan untuk ini, garis depan bergeser hanya 11 kilometer. Para serdadu ini dikorbankan demi 11 kilometer saja.

Kedua belah pihak melakukan lebih banyak serangan lagi selama Perang Dunia I, dan setiap serangan ini menjadi pembantaian diri sendiri. Di kota Ipres di Belgia saja, berlangsung tiga pertempuran. Setengah juta serdadu tewas di pertempuran ketiga saja.

Setiap serangan berakibat sama: Ribuan nyawa melayang hanya untuk maju beberapa kilometer.

Peperangan yang mengerikan ini, yang tidak punya alasan kuat, menelan nyawa orang tak bersalah yang tak terhitung banyaknya. Banyak orang kehilangan saudaranya atau harus meninggalkan rumahnya.

Penyebab utama di balik malapetaka masyarakat ini adalah ambisi politik dan kepentingan kalangan dengan paham tertentu. Membuat kerusakan, yang disebabkan oleh cita-cita duniawi orang yang mengingkari Allah, dilarang di dalam Al Quran. Allah melarang manusia menyebabkan kerusakan di muka bumi:

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya. Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS Al-A’raf: 56)

Jumat, 01 Mei 2009

The Truth Is Outhere

Dan Dia lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”.
(QS : Ar-Rad : 3)

Ayat di atas adalah sebuah bukti bahwa sejak lebih dari empat belas abad yang lalu, Al Quran telah memperingatkan kita untuk belajar dari alam sebagai ciptaan-Nya. Sebuah warning atau bisa dikatakan perintah tanpa menggurui. Ini adalah pemberitahuan yang sangat halus dan indah.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati(kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan “.
(QS : Al Baqarah : 164)

Alangkah indahnya jika seseorang dalam setiap petualangannya diiringi perenungan tentang gunung yang didakinya, tentang laut yang diseberanginya, tentang jeram yang diarunginya, tentang gua yang ditelusurinya dan tentang malam dan siang yang dilaluinya.

“Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kukuh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah)”.
(QS : Qaf : 7-8)

Sehingga seseorang dalam setiap petualangannya tidak hanya merasakan kepuasan materiil saja, tetapi kebutuhan spiritual niscaya akan terpenuhi, karena petualangan yang diserta perenungan tidak hanya melihat keindahan dari mata lahiriah saja, tetapi dapat melihat hikmah yang ada di balik keindahan, yang jika hikmah itu telah ditemukan maka niscaya akan membuat kita bersyukur akan nikmat-Nya.

“Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak guncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk”.
(QS : An Nahl : 15)

Dan jika seorang petualang telah menjejali hatinya dengan kepuasan atas petualangan yang disertai perenungannya, bersyukur adalah puncaknya dan petunjuk adalah permohonannya.

“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran”
(QS : Al Hijr : 19)

Pada akhirnya seorang petualang akan menyadari kemahabisaan-Nya dan akan menginsyafi kemahatidakmampuannya. Di ujung perjalanannya, seorang petualang mungkin akan menemukan dirinya dan kemahaterbatasannya.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal….”
(QS : Ali Imran : 190)

Ada banyak pelajaran yang patut direnungi di luar sana bagi kita yang mengaku berakal. Ada banyak hikmah yang bisa kita gapai di luar sana bagi kita yang mengaku mampu berfikir. Ya ! ada kebenaran di luar sana. The Truth Is Outhere.***

LAPINDO, TSUNAMI & PEMANASAN GLOBAL

Lestarikan alam hanya celoteh belaka….” Itu adalah bagian dari syair lagu yang dinyanyikan Iwan Fals. Syair ini mungkin sebuah sindiran bagi kita, karena betapa sering orang-orang “berteriak” tentang pelestarian alam, tapi betapa sering juga orang-orang melakukan pengrusakan lingkungan.

Tidaklah heran, akibat perlakuan manusia yang neko-neko terhadap lingkungannya, maka alam pun membalas dengan tindakan yang aneh pula. Mungkin dulu kita tidak membayangkan atau malah tidak mengetahui apa itu tsunami. Atau tidak terpikirkan oleh kita tentang lumpur yang menyembur dari perut bumi secara terus menerus, sehingga menenggelamkan desa-desa. Atau kita dulu belum mengenal istilah pemanasan global yang bisa mengakibatkan permukaan air laut naik akibat mencairnya es di Kutub! Sungguh mengerikan!

Tentang pemanasan global ini, saya jadi teringat film yang pernah saya saksikan yang menceritakan akibat dari pemanasan global, sehingga membuat es di Kutub cair dan permukaan air laut menjadi naik sampai menenggelamkan kota-kota yang pada akhirnya timbullah pendinginan global dengan kata lain kembali ke zaman es.

Mungkin karena manusia tidak dapat memperbarui lingkungan yang sudah dirusaknya, maka alam sendirilah yang memperbaharui diri melalui siklus alami. Jadi mungkin pada saat ini alam sedang melakukan proses memperbarui dirinya dengan menggunakan alat dengan merk “Lapindo,” “Tsunami,” dan “Pemanasan Global.”

Dan bukan tidak mungkin alam sedang mempersiapkan alat bermerk lainnya untuk dapat memperbarui dirinya. Atau malah kita ingin terus menjajal alam ini untuk dapat mengetahui sampai sejauhmana alam dapat memperbaiki diri dengan “alatnya”? Atau kita ingin lebih mengetahui “alat” apa lagi yang dimiliki alam untuk memperbaiki diri? Maka silakan, rusaklah alam semaksimal mungkin!

“Telah muncul kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan tangan-tangan manusia, agar Tuhan membuat mereka merasakan sebagian dari apa yang mereka lakukan, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).”
(QS : An Nahl : 34)

Rupanya kita selama ini sudah salah kaprah, anjuran untuk belajar dari alam ditambahi dengan perintah untuk mengeksploitasi alam dengan melupakan keharusan mengimbangi dengan pemeliharaan.

Padahal sudah sejak lebih dari empat belas abad yang lampau Allah melalui Rasul-Nya sudah mengingatkan tentang pentingnya pemeliharaan alam. Salah satu poin yang diterapkan Rasulullah ketika melakukan peperangan adalah “Jangan menebang pohon.”

Kalau kita tarik benang merah dari perintah di atas adalah betapa sudah terperhatikannya tentang pentingnya pelestarian lingkungan walau dalam keadaan perang sekalipun.

Berbeda dengan zaman kita sekarang, dalam keadaan tidak perang, pohon-pohon ditebang dengan sembarangan sehingga hutan-hutan menjadi lapangan. Dan jika dalam keadaan berperang bukan hanya pohon yang ditebang, manusia-manusia tidak berdosa pun ikut “ditebang.”***

NAIK GUNUNG TURUN GUNUNG...DEMI CINTA!!

Naik Gunung Turun Gunung …Lu kira kaga’ cape? Itulah bunyi tulisan yang biasa anggota Palawa lihat di kaos-kaos yang sering dipakainya. Mungkin makna dari tulisan itu sekadar ingin mempertanyakan, “Mengapa kita tidak pernah kapok melakukan kegiatan itu?”

Walaupun sudah jelas bakal menguras tenaga, bikin kita lapar, bikin kita kepanasan dan kedinginan, bahkan bisa bikin kita hipotermi, pokokke bikin kita ngaplek, tapi kita tidak pernah jera. Ini adalah pertanyaan untuk diri kita sendiri!

Kalau ada orang yang mempertanyakan hal tersebut, mungkin akan mengundang beragam jawaban, seperti entah itu karena hobi, mencari kepuasan batin, karena melambangkan kegagahan, killing time, atau pelarian.

Terlepas dari jawaban itu semua, yang jelas ketika kita melakukan kegiatan outdoor –seperti mendaki gunung, arung jeram, susur gua, dan panjat tebing– semua itu kita lakukan dengan enjoy, tanpa beban. Rasa capek kita terobati oleh senda gurau dengan saudara-saudara kita selama di perjalanan. Alangkah indah ketika kita duduk-duduk di depan tenda di malam hari di tengah belantara ditemani secangkir kopi wangi dan batangan rokok. Alangkah indah ketika kita masak dan makan bersama. Alangkah indah suasana seperti itu dan itu salah satu yang membuat kita ketagihan yang kadang membuat kita lupa dunia di luar kita.

Ada lagu yang sering kita nyanyikan waktu kita diklat dulu,“Naik gunung turun gunung, tempuh rimba menembus kabut, malam hari kedinginan, Palawa tetap bertahan….”

Apa yang membuat kita bertahan? Karena takut digampar Si Akang atau Si Teteh? Terus mengapa kita rela menyediakan waktu kita untuk mengikuti diklatdas walau sebagian besar sudah mengetahui bakal ada ‘gamparan’? Terus setelah usai diklat, kita melakukan kegiatan yang sama, ke gunung lagi, arung jeram lagi, susur gua lagi, panjat tebing lagi. Lalu mengapa sebenarnya kita melakukan semua itu. Tak bisa dipungkiri itulah yang dinamakan “cinta.”

Ketika kita mencintai seseorang atau sesuatu, kita rela melakukan apa saja. Kita akan marah, malah rela berantem ketika ada orang yang menghina dan mencemooh apa yang kita cintai. Ya! Itulah cinta!

Kita rela memberi apa saja untuk yang kita cintai, termasuk nyawa kita sekalipun. Seorang pendaki rela mengobankan nyawa demi cintanya pada obsesi menapakkan kakinya di sebuah puncak gunung, seorang rafter rela hanyut dan mempertaruhkan nyawanya demi obsesinya menaklukkan jeram.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kita menjalani hidup ini pun demi cinta, cinta pada kehidupan itu sendiri, walau kadang kehidupan itu sendiri tidak membalas cinta kita. Sehingga timbul ungkapan “Mencintai tidak harus memiliki.” Ketika hal itu terjadi pada diri kita, timbul pertanyaan, “Mengapa kita harus mencintai yang tidak bisa kita miliki?”

Mencintai Sang Maha Pecinta

Mengapa kita kadang rela mencintai sesuatu atau seseorang yang tidak membalas cinta kita? Yang tidak bisa kita miliki? Padahal ada cinta yang selalu membalas cinta kita dan bisa dimiliki?

Ya! Sang Pemurah, Sang Penyayang, Sang Pencipta, Sang Maha Pecinta. Dialah yang selalu memberi dan membalas cinta kita, walau kadang kita lupa untuk mencintainya. Dialah cinta sejati yang bisa kita miliki sampai mati, bahkan hingga kehidupan sesudah mati. Bahkan Dia menyatakan cinta-Nya pada kita dengan mengatakan, “Jika kamu mendekati-Ku dengan berjalan, Aku akan mendekatimu dengan berlari.”

Itulah cinta sejati, cinta yang selalu memberi tanpa pelu menerima. Itulah hakikat cinta. Mencintai Sang Maha Pecinta !

“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan, hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
(QS : Al-Mulk : 15)

Bumi sudah diciptakan, ditaklukkan, dan dimudahkan untuk kita terus disediakan pula rezeki yang berlimpah untuk kita. Kita diberi segalanya tanpa harus kita mengembalikan atau membalasnya. Lalu apakah tidak layak bagi kita untuk mencintai Dia Sang Maha Pemberi ini?***

PERJALANAN PANJANG

“Anakku, jika kau bukan seorang pengembara di dunia ruhani, setidaknya berupayalah untuk tak menyangkal maqam-maqam keruhanian dan ‘irfani, karena salah satu dari tipuan terbesar setan dan diri-badani, yang menghalangi manusia dari meraih berbagai maqam kemanusiaan dan keruhanian, adalah mendorong-dorong manusia untuk menyangkal atau bahkan melecehkan perjalanan ruhaniah menuju Allah.”
(Wasiat Ayatullah Khomeini kepada Putranya)

Ketika saya menuntaskan laporan akhir program Diploma III, saya ingin menuliskan sesuatu pada lembar pertama laporan tersebut sebagai kata-kata mutiara. Namun saya bingung, apa yang harus saya tulis? Saya melihat teman-teman saya menuliskan ayat-ayat Quran pada lembar pertama laporan akhirnya, saya ingin meniru mereka, tapi saya menganggap ayat-ayat Quran terlalu sakral untuk sekadar ditorehkan di lembaran seperti itu.

Akhirnya saya teringat kata-kata saudara saya, Bayu Bharuna. “Sebuah Keberhasilan Adalah Penting… Tapi Proses Menuju Keberhasilan Adalah Jauh Lebih Penting.” Dan kalimat-kalimat itulah yang akhirnya menghiasi lembar awal laporan akhir saya.

Sebuah kalimat yang menurut saya sarat makna. Tentang sebuah proses yang mungkin bisa diartikan ‘perjalanan.’ Ketika seorang pengembara akan melakukan perjalanan, mungkin yang akan terlintas di benaknya adalah ke mana tujuannya? Bekal apa yang akan dibawanya? Manfaat apa yang bisa diperolehnya saat di perjalanan maupun ketika sampai di ujung perjalananannya?

Ketika kita dilahirkan di dunia ini, kita sudah dipilih oleh ‘Sang Pencipta’ untuk melakukan perjalanan. Betapa tidak, dari jutaan sperma yang membuahi indung telur, hanya satu yang lolos seleksi untuk dapat mengemban tugas ‘perjalanan’ ini, yaitu kita.

Seperti halnya ketika kita mendaftarkan diri menjadi anggota Palawa Unpad, dari puluhan atau bahkan ratusan pendaftar, hanya kita yang lolos dan lulus sebagai anggota Palawa setelah melalui proses Diklatdas.

Sehingga setelah itu terbentanglah jalan panjang yang penuh liku di hadapan kita. Semuanya diserahkan kepada kita bagaimana menyikapinya. Ada yang menyikapinya dengan ‘bagaimana nanti’ (pre science), ada yang menyikapi dengan ‘untung rugi’ secara materi (matematis), ada yang menyikapi sebagai ‘pembelajaran’ (filosofis), dan ada yang menyikapinya dengan ikhlas tanpa imbalan tujuannya hanya untuk menemukan ‘kehakikian’ (religius). Suka atau tidak suka semua proses itu harus dilalui.

Saat Diklat dulu pada saat pramedan operasi, kita dibekali materi persiapan perjalanan. Dengan itu minimal kita sudah diajak bertidak secara matematis dan ini sebuah modal awal untuk dapat kita kembangkan di kemudian hari. Sehingga kita dapat mengambil hikmah dari setiap perjalanan yang kita lakukan. Apakah untuk selanjutnya kita akan berhenti pada tahapan filosofis? Itu pilihan! Karena hakikat perjalanan atau proses adalah menemukan kehakikian dan menurut saya itu adalah keharusan. Karena ketika seseorang yang sudah tidak sanggup secara fisik untuk melalukan perjalanan, dia secara ruhaniah harus terus berproses. Sehingga bagi mereka perjalanan yang dilakukan adalah perjalanan spriritual, pendakian bagi mereka adalah pendakian spiritual dan inilah inti dari sebuah proses atau perjalanan, karena proses atau perjalanan ini tidak akan dihentikan oleh maut sekalipun malah akan berkesinambungan menyeberangi kematian.

“Saya berharap kita bangkit dari tidur kita yang amat nyenyak dan bergerak menuju maqam pertama yang memang adalah maqam berjaga, tahap pertama dalam perjalanan spiritual.”
(Ayatullah Khomeini)

Perjalanan inilah yang sebenarnya harus kita perjuangkan, karena dari sinilah kita dapat menentukan hasil yang ingin kita raih dari sebuah pengembaraan panjang.

“Wahai Anakku, berusaha keraslah untuk berjalan sepanjang ‘Jalan Allah’ bahkan dengan kaki yang pincang.”
(Wasiat Ayatullah Khomeini kepada Putranya)
***

Selasa, 13 Januari 2009

TEORI YANG MENTAH

TEORI YANG MENTAH

Oleh: Bayu Ismayudi

Suatu hari saya membaca sebuah buku karangan Harun Yahya yang isinya membahas tentang kesalahfahaman kaum materialisme atas cara pandang mereka terhadap penciptaan Semesta. Di salah satu bab dari buku itu membahas tentang konsep Darwin yang terkenal dengan Teori Evolusi-nya.

Ketika saya membaca bab tersebut, saya jadi heran dan tertawa sendiri. Betapa tidak, sungguh dunia sempat dibodohi dengan teori seperti itu. Bahkan dunia sempat menganggap teori itu sebagai karya ilmiah yang patut dijejalkan ke perpustakaan-perpustakaan sekolah bahkan universitas. Sungguh sebuah pembodohan manusia yang terencana yang dilakukan oleh kaum yang merasa diri pintar dan intelek.

Paham evolusi ini tersembunyi dalam samaran ilmiah selama satu setengah abad yang digunakan untuk membenarkan diri sendiri. Walaupun dianggap berkedudukan sebagai teori ilmiah selama pertengahan abad ke-19, tapi sampai sejauh ini teori tersebut belum disahkan oleh eksperimen ataupun temuan ilmiah.

Ide khayali dari seorang biolog amatiran yang bernama Charles Robert Darwin ini –melalui bukunya berjudul The Origin Of Species by Means of Natural Selection– menyatakan bahwa semua makhluk hidup memiliki leluhur yang sama! Misalnya, klaim terkenalnya menyatakan bahwa nenek moyang manusia adalah kera. Jadi dengan kata lain, Darwin dan para pengikutnya menyatakan bahwa nenek moyang mereka adalah monyet!

Bohongnya teori ini dibuktikan dengan belum pernahnya ditemukan bentuk-bentuk transisi yang diduga menunjukkan evolusi organisme hidup secara bertahap dari yang primitif menuju spesies yang maju.

Sejak Teori Darwin dicetuskan, para evolusionis telah mencari fosil. Tapi dimana pun di dunia ini, baik di darat maupun di kedalaman lautan, tidak ditemukan spesies yang mempunyai bentuk transisi antardua spesies.

Bahkan dalam bukunya The Origin of Species, Darwin menyatakan, “Jika setiap spesies berasal dari spesies lain secara bertahap, mengapa di mana-mana kita tidak melihat bentuk transisi yang amat banyak? Mengapa kita tidak mendapati mereka terpendam di balik tanah dengan jumlah yang tak terkira?”

Setelah mati kutu dengan teorinya itu, konco-konconya Darwin ini segera menyusun model baru dengan nama neo-Darwinisme dengan klaim baru pula yang disebut “keseimbangan bersela.” Model ini menyatakan bahwa makhluk hidup tiba-tiba berkembang menjadi spesies lain tanpa melalui bentuk transisi sama sekali. Dengan kata lain, spesies tanpa “nenek moyang” evolusioner tiba-tiba muncul. Klaim-klaim ini semuanya bertentangan dengan kaidah genetika, biofisika, dan biokimia. Klaim ini seilmiah dongeng katak yang berubah menjadi pangeran !

Inilah sekelumit cerita tentang orang-orang yang menuhankan akalnya. Mereka menganggap logikanya ilmiah dan layak dipertuhankan.

“Apakah mereka diciptakan tanpa ada yang menciptakan ataukah mereka sendiri yang menciptakan dirinya? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).”
(QS : Ath-Thuur : 35-36)

Wahai kaum intelektual yang merasa diri paling logis, hari ini terdapat banyak orang yang tidak sadar bahwa mereka dalam keadaan menerima sekumpulan kesesatan sebagai kebenaran atas nama ilmu pengetahuan.

“Dan, kalau kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi ini niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”
(QS : Al-An’aam : 116)***